Kesenian Benjang merupakan salah satu bentuk kesenian khas Bandung Timur, Ujung Berung yang menurut beberapa literatur Benjang ini sudah muncul sejak abad ke-19. Dahulu Benjang ini merupakan sebuah seni bela diri yang dimana gulat itu menjadi inti dari Benjang itu sendiri.
Selama masa penjajahan Belanda di Indonesia masyarakat dilarang untuk mempelajari teknik karena takut adanya pemberontakan, maka dari itu dibungkuslah Benjang gulat ini dengan kesenian agar tidak ketahuan bahwa Benjang ini merupakan aksi bela diri yang dimana di Benjang sendiri banyak para pemudanya berlatih ketangkasan.

Seni Benjang ini umumnya dimainkan pada malam hari yang dimana pada siang harinya harus melakukan helaran (arak-arakan) terlebih dahulu kepada masyarakat sekitar. Helaran ini dilakukan dengan menabuh Waditra (alat musik Benjang) di sekitar lokasi yang akan dijadikan arena pertunjukan. Bentuk Helaran ini kemudian dilakukan berkeliling kampung sambal diiringi alat musik serta pertunjukan seni lain seperti, Kuda Lumping Bangbarongan (salah satu seni barong) dan Kasweh (dua orang yang berperilaku seperti kakek dan nenek dengan mengenakan topeng terbuat dari kertas). Adanya arak-arakan ini memberitahu kepada warga bahwasanya akan ada pertunjukan gulat.
Beberapa gerakan Benjang seperti Dogong (permainan saling mendorong), gerakan Seraden (saling desak dan dorong tanpa alat apapun) dan gerakan mirip Bagong (celeng atau babi) atau Ibing Benjang (mirip domba yang berkelai dengan tanduk). Tidak ada peraturan fisik dalam mengikuti Benjang, satu-satunya peraturan penting adalah apabila lawan tidak bisa membela diri dalam keadaan terlentang, maka pemain tersebut dinyatakan kalah. Posisi telentang pada pemain yang kalah dinamakan dengan Milang Bentang (menghitung bintang). Posisi ini dilakukan sebagai intropeksi diri pemain agar terhindar dari sifat sombong agar pemain menyadari bahwa masih banyak orang yang lebih hebat daripada dirinya yang disimbolkan dengan banyak bintang di langit malam.

Pada kesenian Benjang terdapat seorang Malim yang akan menjadi pusat dari kegiatan tersebut. Selama pertunjukan dimulai, Benjang harus diiringi alat musik Sunda, seperti Terebang, Terompet Gendang, Bedug, Kecrek dan Tambur. Pebenjang wajib melakukan gerakan pembuka, seperti menari (Ibing) yang dibagi dalam tiga tahap, yaitu Golempang (ajang perkenalan), Puyuh Ngungkuk (simbol mencari lawan), dan Beurum Panon (mengatakan siap bertarung).
Penulis: Citra Kirana Putri
Editor: Rosa Putri Theresia Sinaga






